SMK WIKRAMA

Ketahui Hukum Pacaran dalam Islam dan Dalilnya

Bogor

Ketahui Hukum Pacaran dalam Islam dan Dalilnya

SMK WIKRAMA BOGOR - 

Ketahui Hukum Pacaran dalam Islam dan Dalilnya

 

Bagaimana hukum pacaran dalam agama Islam dan apa perbedaaan taaruf dengan pacaran? Berikut ini hadits yang menjelaskannya.

Pacaran banyak orang lakukan. Proses mengenal lawan jenis atau diibaratkan sebagai rasa cinta yang diwujudkan dalam sebuah hubungan seperti sudah menjadi hal lumrah.

Tapi, bagaimana dengan hukum pacaran dalam Islam? Dilansir dari laman NU Online, pada dasarnya segala macam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.

الأصل فى الأشياء الإباحة إلا ماحرمه الشرع

Artinya: “segala hal asalnya dibolehkan selama ada yang mengharamkan secara syara”.

Bagaimana hukum pacaran dalam agama Islam?

Begitu pula dengan hukum pacaran dalam Islam pada dasarnya pacaran sebagai sebuah bentuk sosialisasi dibolehkan selama tidak menjurus pada tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh syara’. Yaitu pacaran yang dapat mendekatkan para pelakunya pada perzinahan.

Dalam Al-Quran surat al-Isra’ ayat 32 menerangkan tentang larangan perzinahan:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”

Hal ini singkron dengan hadits Rasulullah SAW yang seolah menjelaskan model tindakan yang dapat mendekatkan seseorang dalam perzinahan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري)

“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta  ada mahramnya” (muttafaq alaihi)

Hukum Dilarangnya Berpacaran

Rasulullah SAW secara tidak langsung sudah memberi rambu-rambu kepada umatnya seputar model hubungan laki-laki dan perempuan yang terlarang.

Larangan itu demi menghindarkan seseorang terjerumus dalam perzinahan. Karena pada umumnya perzinahan bermula dari situasi berduaan.

Demikianlah dasar hukum dilarangnya pacaran, jika yang dimaksud dengan pacaran itu adalah Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka, sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Purwodarminto.

Beda taaruf dengan pacaran

Akan tetapi berbeda hukumnya jika yang dimaksud dengan pacaran adalah upaya saling mengenal menjajaki kemungkinan untuk menjalin pernikahan dalam momentum khitbah melamar.

Karena hal itu sama seperti mendukung anjuran Rasulullah SAW terhadap generasi muda muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari perzinahan.

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ * (رواه مسلم)

“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw mengatakan kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesungguhnya puasa itu perisai baginya” (muttafaq alaih).

عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: …لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي * (رواه البخاري)

“Dari Anas ra. Bahwasanya Nabi saw berkata: …tetapi aku, sesungguhnya aku salat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku”

Kedua hadits itu menjelaskan pentingnya sebuah pernikahan bagi seorang. Karena itulah pacaran dengan arti meminang atau melamar dalam upaya mencari kesepahaman demi menuju jenjang pernikahan dalam Islam dibolehkan.

Karena kesempatan seorang muslim memandang muka dan telapak tangan perempuan lain bukan muhrim hanya dalam momen khitbah, tidak pada saat yang lain.

Demikian keterangan dalam At-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib

والرابع النظر لاجل النكاح فيجوز الى الوجه والكفين

Keempat (dari tujuh macam pandangan laki-laki terhadap wanita) melihat untuk maksud menikahi. Diperbolehkan memandang muka dan telapak tangannya.

Demikian Rasulullah SAW juga mengajarkan perlunya perkenalan dan menganjurkannya walau dalam waktu yang singkat sebagaimana pengalaman Al-Mughirah bin Syu’bah ketika meminang seorang perempuan, maka Rasulullah berkomentar kepadanya:

انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينكما

Lihatlah dia (wanita itu), sesungguhnya melihat itu lebih pantas (dilakukan) untuk dijadikan lauknya cinta untuk kalian berdua.

Karena itu, segala macam bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan, kecuali jika pacaran yang bermakna khitbah yang membolehkan seorang lelaki hanya memandang muka dan telapak tangan perempuan, tidak lebih.

Artinya tidak melebihi dari muka dan telapak tangan, tidak melebihi saat khitbah, dan juga tidak melebihi dari memandang itu sendiri.

Demikian penjelasan seputar hukum pacaran dalam agama Islam, semoga artikel ini bermanfaat. (ysf)